Thursday, October 9, 2008

Hukum Syara’ Atas Mushafahah

Ditulis oleh Farid Ma'ruf di/pada Januari 18, 2007

Soal: Saya ingin menanyakan apakah boleh berjabat tangan dengan lawan jenis, mohon penjelasan yang detail berikut pendapat-pendapat yang muncul dan tarjihnya.
Jawab:
Pembahasan hukum berjabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram memerlukan kajian yang kritis dan mendalam sebelum menyimpulkan, karena terdapat cukup banyak dalil-dalil syara yang digunakan untuk membahas permasalahan ini. Akibatnya para ulama yang membahas masalah ini berbeda pendapat tentang hukumnya. Ada yang mengharamkannya dan ada pula yang mengatakan bahwa hukumnya mubah (boleh).

1. Dalil-Dalil, Serta Argumentasi Yang Digunakan Oleh Masing-Masing Pendapat
Dalil-dalil yang dikemukakan oleh pendapat yang mengharamkannya adalah sebagai berikut:
Pertama, beberapa riwayat dari ‘Aisyah r.a. yaitu:
Telah berkata ‘Aisyah:
“Tidak pernah sekali-kali Rasulullah Saw menyentuh tangan seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Telah berkata ‘Aisyah:
“Tidak! Demi Allah, tidak pernah sekali-kali tangan Rasulullah Saw menyentuh tangan wanita (asing), hanya ia ambil bai’at mereka dengan perkataan.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Menurut mereka Hadits-hadits di atas dan serupa dengannya merupakan dalil yang nyata bahwa Rasulullah Saw tidak berjabat tangan dengan wanita bukan mahram (asing). Karena itu maka hukum berjabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram adalah haram.
Kedua, hadits-hadits yang menunjukkan larangan ‘menyentuh wanita’ serta hadits-hadits lain yang maknanya serupa. Misalnya hadits shahih yang berbunyi:
“Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. ath-Thabrani].
Atau hadits yang berbunyi:
“Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan mahram.”
Ketiga, juga di dasarkan pada sabda Rasulullah Saw yakni:
“Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR. Malik, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i].
Sedangkan pendapat yang membolehkan dasarnya adalah riwayat yang menunjukkan bahwa tangan Rasulullah Saw bersentuhan (memegang) tangan wanita.
Pertama, diriwayatkan dari ‘Ummu ‘Athiyyah r.a. yang berkata:
“Kami telah membai’at Rasulullah Saw, lalu Beliau membacakan kepadaku ‘Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu’, dan melarang kami melakukan ‘nihayah’ (histeris menangis mayat), karena itulah seorang wanita dari kami menggenggam (melepaskan) tangannya (dari berjabat tangan) lalu wanita itu berkata: ‘Seseorang (perempuan) telah membuatku bahagia dan aku ingin (terlebih dahulu) membalas jasanya’ dan ternyata Rasulullah Saw tidak berkata apa-apa. Lalu wanita itu pergi kemudian kembali lagi.” [HR. Bukhari].
Hadits ini menunjukkan bahwasanya kaum wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan. Kata qa ba dha dalam hadits ini memiliki arti menggenggam/melepaskan tangan. Seperti disebutkan di dalam kamus yang berarti menggenggam sesuatu, atau melepaskan (tanganya dari memegang sesuatu) (A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir, hal. 1167). Hadits ini jelas-jelas secara manthuq (tersurat) artinya ‘menarik kembali tangannya’ menunjukkan bahwa para wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan, sebab tangan salah seorang wanita itu digenggamnya/dilepaskannya setelah ia mengulurkannya hendak berbai’at. Selain itu dari segi mafhum (tersirat) juga dipahami bahwa para wanita yang lain pada saat itu tidak menarik (menggenggam) tangannya, artinya tetap melakukan bai’at dengan tangan terhadap Rasulullah Saw. Jadi hadits ini menunjukkan secara jelas —baik dari segi manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat)— bahwa Rasulullah Saw telah berjabat tangan dengan wanita pada saat bai’at (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzhâm Ijtima’i fi al-Islâm, hal. 57-58, 71-72). Penjelasan ini juga sekaligus membantah yang mengatakan: “Yang dimaksud dengan genggaman tangan dalam hadits tersebut adalah ‘penerimaan yang terlambat’.” Seperti yang dikemukakan golongan yang mengharamkan jabat tangan (Muhammad Ismail, Berjabat Tangan Dengan Perempuan, hal. 34). Sebab kata ‘genggam tangan’ dalam hadits tersebut tidak memiliki arti selain ‘berjabat tangan’. Dan tidak bisa dipahami/diterima dari segi bahasa kalau diartikan ‘penerimaan yang terlambat’. Kata qa ba dha juga sering ditemukan dalam hadits-hadits lain yang artinya menggenggam dengan tangan, misalnya, diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a. dari Ibnu Juraij yang menceritakan, Bahwa ‘Aisyah r.a. berkata, “Suatu ketika datanglah anak perempuan saudaraku seibu dari Ayah Abdullah bin Thufail dengan berhias. Ia mengunjungiku, tapi tiba-tiba Rasulullah Saw masuk seraya membuang mukanya. Maka aku katakan kepada beliau ‘Wahai Rasul, ia adalah anak perempuan saudaraku dan masih perawan tanggung’.” Beliau kemudian bersabda:
“Apabila seorang wanita telah sampai usia baligh maka tidak boleh ia menampakkan anggota badanya kecuali wajahnya dan selain ini —digenggamnya pergelangan tangannya sendiri— dan dibiarkannya genggaman antara telapak tangan yang satu dengan genggaman terhadap telapak tangan yang lainnya.” [HR. ath-Thabari dari ‘Aisyah r.a.].
Hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ummu ‘Athiyyah r.a. ini yang dijadikan dalil oleh sebagian ulama yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram. Namun demikian kebolehan tersebut dengan syarat tidak disertai syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram.
Kedua, diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. yang berkata:
“Seorang wanita mengisyaratkan sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi Saw. Beliau lalu memegang tangan itu seraya berkata, ‘Aku tidak tahu ini tangan seorang laki-laki atau tangan seorang wanita.’ Dari belakang tabir wanita itu menjawab: ‘Ini tangan seorang wanita.’ Nabi bersabda, ‘Kalau engkau seorang wanita, mestinya kau robah warna kukumu (dengan pacar)’.” [HR. Abu Dawud].
Ketiga, dalil lain yang membuktikan bahwa hukum mushafahah adalah mubah adalah dari firman Allah SWT:
“…atau kamu telah menyentuh wanita…” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 43).
Ayat ini merupakan perintah bagi seorang laki-laki untuk mengambil air wudlu kembali jika ia menyentuh wanita. Wanita yang ditunjuk oleh ayat itu bersifat umum, mencakup seluruh wanita, baik mahram maupun bukan. Dengan kata lain, bersentuhan tangan dengan wanita bisa menyebabkan batalnya wudlu, namun bukan perbuatan yang diharamkan. Sebab, ayat tersebut sebatas menjelaskan batalnya wudlu karena menyentuh wanita, bukan pengharaman menyentuh wanita. Oleh karena itu, menyentuh tangan wanita —tanpa diiringi dengan syahwat— bukanlah sesuatu yang diharamkan, alias mubah.
Walhasil berdasarkan mafhum isyarah dalam ayat tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa hukum mushafahah adalah mubah.
Keempat, Adanya riwayat-riwayat lain yang membolehkan mushafahah adalah sebagai berikut.
Imam ar-Razi dalam at-Tafsir al-Kabîr, juz 8, hal. 137 menuturkan sebuah riwayat bahwa ‘Umar ra telah berjabat tangan dengan para wanita dalam bai’at, sebagai pengganti dari Rasulullah Saw.
Diriwayatkan oleh Imam ath-Thabarani bahwa Umar bin Khaththab berjabat tangan dengan para wanita sebagai pengganti dari Rasulullah Saw.
Imam al-Qurthubi di dalam al-Jâmi’ al-Ahkâm al-Qurân, juz 18, hal. 71, juga mengetengahkan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw mengambil bai’at dari kalangan wanita. Diantara tangan Rasulullah Saw dan tangan wanita-wanita itu ada sebuah kain. Kemudian Rasulullah Saw mengambil sumpah wanita-wanita tersebut. Dituturkan pula bahwa setelah Rasulullah Saw selesai membaiat kaum laki-laki Rasulullah Saw duduk di shofa bersama dengan Umar bin Khaththab yang tempatnya lebih rendah. Lalu, Rasulullah Saw membai’at para wanita itu dengan bertabirkan sebuah kain, sedangkan Umar bin Khaththab berjabat tangan dengan wanita-wanita itu.
Riwayat-riwayat ini merupakan dalil kebolehan mushafahah. Sebab, ada taqrir dari Rasulullah Saw terhadap perbuatan Umar bin Khaththab. Taqrir dari Rasulullah Saw merupakan hujjah yang sangat kuat atas bolehnya melakukan mushafahah. Seandainya mushafahah dengan wanita asing (ajnabiyyah) adalah perbuatan haram, tentunya Rasulullah Saw tidak akan mewakilkan kepada Umar bin Khaththab, dan beliau Saw pasti akan melarangnya.

2. Sikap Kita Dalam Menghadapi Perbedaan Tersebut
Dalam menghadpi perbedaan tersebut dan pendapat mana yang harus kita ikuti untuk kita amalkan, maka kita harus mengkaji terlebih dahulu pendapat manakah yang lebih kuat dalam hal ini. Untuk itu kita perlu mengkaji manakah dalil yang lebih kuat dari nash-nash yang seolah-olah bertentangan yang digunakan oleh kedua pendapat di atas. Kalau kita perhatikan hadit-hadits yang digunakan oleh kedua pendapat adalah hadits-hadits shahih yang harus diterima kebenarannya. Dalam mensikapi hadits-hadits yang dzahirnya seola-olah bertentangan, menurut ilmu hadits dan ushul fiqh harus ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
a. Thariqatul jam’i, yakni menggabungkan dan mengkompromikan dalil-dalil yang ada. Apabila langkah ini tidak bisa dilakukan baru menempuh.
b. Nasikh dan Mansukh, apabila tidak bisa dilakukan, ditempuh.
c. Tarjih, yakni dengan cara meneliti dan membandingkan mana dalil yang lebih kuat. Dalam hal ini harus dilakukan secara cermat dan teliti serta harus memperhatikan kaidah-kaidah tarjih yang telah digariskan oleh para ulama. Kalau langkah ini sulit dilakukan karena sama-sama kuat atau masih kabur baru menempuh langkah terakhir.
d. Tawaqquf, yaitu menghentikan kajian dalam menggali hukumnya. Namun terus berusaha sampai Allah SWT membukakan persoalan tersebut untuk diketahui (Dr. Mahmud Thahan, Taisir Musthalah Hadits, hal. 58).

3. Pendapat Yang Rajih (Kuat)
Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya mubah. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Hadits yang sering digunakan oleh golongan yang berpendapat haramnya berjabat tangan dengan bukan mahram adalah hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a. Sedangkan golongan yang mengatakan mubah adalah berdasarkan riwayat ‘Ummu ‘Athiyyah r.a. Untuk mentarjihnya kita perlu memperhatikan kaidah tarjih dalam ilmu hadits yang telah dijelaskan para ulama bahwa:
“Rawi yang mengetahui secara langsung kedudukannya lebih kuat dari pada Rawi yang mengetahui tidak secara langsung.”
Dari hadits-hadits diatas, maka hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ummu ‘Athiyyah r.a. lebih kuat, sebab beliau melihat dan mengetahui secara langsung perbuatan Rasulullah Saw yang berjabat tangan dengan wanita bukan mahram pada saat berbai’at. Bahkan ‘Ummu ‘Athiyyah r.a. sendiri berjabat tangan dengan Rasulullah Saw seperti apa yang tersirat dari hadits yang diriwayatkannya. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a. isinya merupakan pendapat beliau yang menggambarkan bobot keilmuan beliau. Bahwa selama beliau (‘Aisyah r.a.) bergaul dengan Rasulullah Saw, beliau tidak pernah melihat Rasulullah Saw berjabat tangan dengan wanita bukan mahram. Jadi secara tidak langsung ‘Aisyah r.a. menceritakan bahwa Rasulullah Saw tidak pernah berjabat tangan dengan wanita bukan mahram.
2. Memang benar ‘Aisyah r.a. tidak pernah melihat Rasulullah Saw berjabat tangan wanita bukan mahram. Tetapi tidak bisa langsung disimpulkan bahwa Rasulullah Saw mengharamkan berjabat tangan dengan bukan mahram. Sebab apa yang dikatakan ‘Aisyah hanya menjelaskan tentang ketiadaan perbuatan Rasul —dalam hal ini berjabat tangan— yang diketahui ‘Aisyah, dan tidak menunjukkan larangan berjabat tangan dengan bukan mahram. Perlu diketahui bahwa kehidupan Rasulullah sehari-hari tidak selamanya didampingi ‘Aisyah r.a., bahkan kehidupan Rasulullah Saw bersama ‘Aisyah r.a. lebih sedikit dibandingkan dengan kehidupan Rasulullah Saw di luar rumah (berdakwah tanpa disertai ‘Aisyah r.a.). Sehingga kalau ‘Aisyah r.a. tidak pernah melihat Rasulullah Saw berjabat tangan dengan wanita bukan mahram, tidak bisa langsung disimpulkan haram berjabat tangan dengan bukan mahram. Sebab pada keadaan lain ada yang melihat dan mengetahui (‘Ummu ‘Athiyyah r.a.) Rasulullah Saw berjabat tangan dengan wanita bukan mahram. Oleh krena itu hadits riwayat ‘Ummu ‘Athiyyah r.a. lebih rajih (kuat) untuk dijadikan dalil dan dapat diambil serta menentukan bolehnya berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram.
3. Hadits-hadits yang menunjukkan larangan ‘menyentuh wanita’ serta hadits-hadits lain yang maknanya serupa. Misalnya hadits shahih yang berbunyi:
“Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. ath-Thabarani].
Atau hadits yang berbunyi:
“Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan mahram.”
Menurut golongan yang membolehkan berjabat tangan, menjelaskan bahwa kata massa yang artinya ‘menyentuh’ dalam hadits tersebut adalah lafadz musytarak (memiliki makna ganda) yakni bisa berarti ‘menyentuh dengan tangan’ atau ‘bersetubuh’. Selain itu pengertian ‘menyentuh’ juga sering digunakan kata lamasa yang juga memiliki makna ganda, yakni bisa berarti ‘menyentuh dengan tangan’ atau ‘bersetubuh’. Ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah dalam menjelaskan menyentuh dengan tangan sering menggunakan kata lamasa. Hal ini bisa dilihat dalam firman Allah SWT:
“…atau kamu telah menyentuh wanita…” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 43).
Juga firman Allah SWT:
“… atau kamu telah menyentuh wanita…” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 6).
“Dan kalau kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri…” (Qs. al-An’âm [6]: 7).
Arti kata lamasa menurut bahasa Arab sendiri adalah ‘menyentuh dengan tangan’. Di dalam Kamus al-Muhith, karangan Fairuz Abadi, juz II, hal. 249, arti lamasa adalah al jassu bil yadi (menyentuh dengan tangan).
Dalam kedua ayat pertama, kalimatnya berbentuk umum untuk seluruh kaum wanita, yaitu bersentuhan dengan wanita membatalkan wudhu dan hal ini menunjukkan bahwa hukumnya terbatas pada batalnya wudhu karena menyentuh wanita (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzhâm Ijtima’i fi al-Islâm, hal. 58). Sedangkan dalam ayat ketiga memperjelas bahwa yang dimaksud menyentuh adalah memegang dengan tangan.
Didalam hadits-hadits pun terdapat kata lamasa yang artinya menyentuh dengan tangan. Diriwayatkan:
Telah berkata Ibnu ‘Abbas:
“Tatkala Ma’iz bin Malik datang kepada Nabi Saw (mengaku berzina), bersabdalah Rasulullah Saw: ‘Barangkali engkau hanya mencium atau menyentuh atau melihat saja?’ Jawab dia, ‘Tidak! Ya Rasulullah.’ Berkata (Ibnu ‘Abbas), ‘Maka sesudah itu beliau memerintahkan agar dia itu dirajam’.” [HR. al-Ismailiy]. (Lihat A. Hassan, Soal-Jawab, hal. 53 – 55).
Juga diriwayatkan:
“Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah Saw melarang jual-beli dengan cara mulamasah dan munabadzah.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Jual beli secara mulamasah yaitu: Jika seorang pembeli berkata, apabila engkau menyentuh kainku dan aku menyentuh kainmu, maka terjadilah jual-beli. (Lihat kitab hadits Lu’lu wal Marjan, juz II, hal. 150).
4. Kata massa merupakan lafadz musytarak, sehingga dalam sebuah ayat dan beberapa riwayat berarti ‘menyentuh dengan tangan’. Yakni di dalam firman Allah SWT:
“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (Qs. al-Wâqi’ah [56]: 78).
Juga dalam riwayat:
“Dan dari Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm dari ayahnya, dari datuknya, bahwa Nabi Saw pernah mengirim surat kepada penduduk Yaman, yang (di dalamnya): ‘Tidak boleh menyentuh al-Qur’an melainkan orang yang suci’.” [HR. al-Atsram dan ad-Daraquthni]. Hadits yang serupa juga diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa.
Tetapi, hadits-hadits yang diggunakan sebagai dalil oleh golongan yang mengharamkan ‘menyentuh wanita’ menggunakan kata massa yang lebih tepat diartikan ‘bersetubuh’ bukan ‘menyentuh dengan tangan’. Kata-kata massa dengan arti ‘bersetubuh’ lebih banyak ditemukan dalam ayat-ayat al-Qur’an. Misalnya firman Allah SWT:
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka…” (Qs. al-Baqarah [2]: 236).
“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu sentuh (setubuh) mereka, padahal…” (Qs. al-Baqarah [2]: 237).
Juga firmanNya:
“Maryam berkata: ‘Bagaimana aku bisa mempunyai anak laki-laki sedangkan tidak pernah seorang manusiapun yang menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina’.” (Qs. Maryam [19]: 20).
“…kemudian kamu ceraikan mereka sebelum sentuh (setubuh) mereka…” (Qs. al-Ahzab [33]: 49).
Dan masih banyak ayat lain yang menggunakan kata massa untuk makna ‘bersetubuh’ bukan arti menyentuh secara bahasa.
Juga di dalam beberapa hadits menunjukkan bahwa kata massa memiliki arti ‘bersetubuh’. Rasulullah Saw bersabda:
“Apabila kemaluan menyentuh kemaluan (bersetubuh), maka wajiblah mandi.” [HR. Muslim].
5. Walaupun kata massa dapat diartikan dengan ‘menyentuh dengan tangan’ tetapi dalam hadits-hadits yang digunakan oleh golongan yang mengharamkan jabat tangan dengan wanita bukan mahram, ini lebih tepat jika diartikan dengan ‘bersetubuh’. Sebab jika di artikan dengan ‘menyentuh dengan tangan’ maka pengertian ini bertentangan dengan hadits shahih yang diriwayatkan ‘Ummu ‘Athiyyah r.a. dimana tangan Rasulullah Saw yang mulia telah menyentuh (berjabat tangan) dengan wanita yang bukan mahram. Juga riwayat lain yang menjelaskan dimana Rasulullah Saw pernah memegang tangan wanita seperti diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. yang berkata:
“Seorang wanita mengisyaratkan sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi Saw. Beliau lalu memegang tangan itu seraya berkata, ‘Aku tidak tahu ini tangan seorang laki-laki atau tangan seorang wanita.’ Dari belakang tabir wanita itu menjawab. ‘Ini tangan seorang wanita.’ Nabi bersabda, ‘Kalau engkau seorang wanita, mestinya kau robah warna kukumu (dengan pacar)’.” [HR. Abu Dawud].
Selain itu Rasulullah Saw pernah berjabat tangan di dalam air, dalam benjana pada saat membai’at wanita, pernah juga Rasulullah Saw berjabat tangan dengan alas kain. Juga diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah menyuruh Umar bin Khaththab r.a untuk mewakili beliau dalam bai’at dan bai’at ini dilakukan dengan berjabat tangan. Kalau memang berjabat tangan (menyentuh) dengan wanita diharamkan, tentunya Rasulullah Saw tidak akan melaksanakannya baik secara langsung maupun dengan perantara apapun. Juga tidak mungkin Rasulullah Saw memerintahkan Umar bin Khaththab r.a. melakukan jabat tangan (menyentuh) dengan wanita yang bukan mahram, sebab hal tersebut adalah perbuatan yang haram. Akan tetapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya.
Juga kalau memang berjabat tangan (bersentuhan) anatar lawan jenis yang bukan mahram itu diharamkan, tentunya Daulah Khilafah Islamiyyah (negara Khilafah) tidak akan membiarkan kondisi-kondisi atau keadaan yang sangat memungkinkan terjadi persentuhan. Bahkan Daulah akan memberikan sanksi/hukuman bagi yang melakukannya. Ternyata tidak ada satu riwayatpun yang menyatakan bahwa Daulah pernah melakukannya. Dan bahkan Daulah tidak pernah memisahkan antara jama’ah haji pria dan wanita, juga antara pria dan wanita di pasar walaupun kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya bersentuhannya pria dan wanita yang bukan mahram.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa dimaksud dengan kata ‘menyentuh’ pada hadits-hadits yang digunakan oleh pendapat yang mengharamkan berjabat tangan dengan wanita bukan mahram adalah ‘bersetubuh’ bukan menyentuh secara bahasa (berjabat tangan).
6. Pendapat yang mengharamkan berjabat tangan antara pria dan wanita bukan mahram juga di dasarkan pada sabda Rasulullah Saw:
“Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR. Malik, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i].
Hadits di atas serta hadits-hadits lain yang serupa sering dijadikan dalil untuk mengharamkan berjabat tangan dengan bukan mahram.
Pendapat ini adalah lemah, karena ada sebuah kaidah ushul fiqh yang mengatakan:
Inna ‘adam fi’l al-rasûl lisyain laisa dalîl syar’iyan (Sebenarnya perbuatan yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah Saw bukanlah dalil syara’).
Sedangkan yang bisa dijadikan dalil syara’ adalah perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.
Oleh karena itu, perkataan Rasulullah Saw, “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” Tidak bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan berjabat tangan (mushafahah). Akan tetapi, hadits itu harus dipahami bahwa Rasulullah Saw ada kalanya menjauhi dan tidak pernah mengerjakan sama sekali perbuatan-perbuatan yang berhukum mubah. Misalnya, Rasulullah Saw selalu menjauhi dan tidak pernah menyimpan dirham dan dinar di rumahnya. Rasulullah Saw juga menjauhi untuk memakan daging biawak. Padahal, perbuatan-perbuatan semacam ini bukanlah perbuatan yang dilarang bagi kaum muslim. Artinya, meskipun Rasulullah Saw tidak pernah mengerjakan perbuatan tersebut, akan tetapi beliau Saw tidak melarang umatnya untuk melakukan perbuatan tersebut.
Demikian juga dengan kasus mushafahah. Meskipun Rasulullah Saw tidak pernah melakukan mushafahah, bukan berarti mushafahah itu dilarang bagi kaum muslim. Sebagaimana bahwa menyimpan dirham dan dinar bukanlah perkara terlarang, meskipun Rasulullah Saw tidak pernah mengerjakannya. Walhasil, apa yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah Saw tidak mesti dipahami bahwa perbuatan itu berhukum haram.
7. Adapun kritik yang dikemukakan oleh Ibnu al-‘Arabi terhadap keshahihan riwayat-riwayat ‘Umar bin Khaththab bisa ditangkis dari kenyataan bahwa hadits-hadits yang bertutur tentang mushafahahnya ‘Umar bin Khaththab dicantumkan di dalam kitab Fâth al-Bârî karya al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, juz 8, hal. 636, dan beliau tidak berkomentar terhadap riwayat ini. Ini menunjukkan bahwa Ibnu Hajar telah mengakui keshahihan riwayat ini. Al-Hafidz sendiri adalah seorang muhadits yang sangat termasyhur dan kitabnya Fâth al-Bârî, diakui sebagai kitab syarah terbaik dan karya ilmiah yang dijadikan rujukan para ‘ulama fiqh dan hadits. Atas dasar itu, riwayat-riwayat yang menuturkan mushafahahnya Umar bin Khaththab dengan kaum wanita bisa digunakan hujjah secara pasti.
8. Kelompok yang mengharamkan berjabat tangan mengatakan bahwa riwayat Ummu ‘Athiyah ini adalah mursal, yang berarti dha’if. Hal ini telah dijelaskan oleh Imam an-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, jld. 1, hal. 30) dan juga al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (Fâth al-Bârî, jld. 8, hal. 636). Ibnu Hajar mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh ‘Aisyah adalah merupakan hujjah (bantahan) terhadap apa-apa yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah mengenai Rasulullah memanjangkan tangannya untuk berjabat tangan dengan para wanita.
Memang sebagian ulama memasukkan hadits mursal ke dalam hadits yang mardud (tertolak). Ulama-ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Syafi’i dan beberapa ulama lainnya. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Imam Malik menjadikan hadits mursal sebagai hujjah.
Hadits Ummu ‘Athiyyah adalah hadits marfu’ (sambung) hingga Nabi Saw. Perawi hadits tersebut adalah Musaddad, yang menurut Imam Ibnu Hanbal ia adalah shaduq (orang yang sangat terpercaya). Menurut Yahya bin Mu’în, ia adalah tsiqat tsiqat (lebih dari sekedar terpercaya).
Perawi berikutnya adalah Abdu al-Wârits. Menurut an-Nasâ’i ia adalah tsiqat (terpercaya); menurut Abu Zur’ah ar-Razi, ia adalah tsiqat. Menurut Abu Hatim ar-Razi ia adalah shaduq.
Sedangkan Ayyub, nama lengkapnya adalah Ayyub bin Tamimah Kisâniy, seorang tabi’in kecil (al-shughra min at-tâbi’în). Menurut an-Nasâ’i dan Yahya bin Mu’în, ia adalah tsiqat (terpercaya).
Perawi selanjutnya adalah Hafshah binti Sîrîn, namanya kunyahnya adalah Ummu Hudzail. Seorang tabi’in tengah (al-wasthiy min at-tâbi’în). Ibnu Hibban mencantumkannya di dalam al-Tsiqat. Menurut Yahya bin Mu’în ia adalah tsiqat hujjah (terpercaya yang menjadi hujjah). Ia adalah salah seorang murid dan perawi dari Ummu ‘Athiyyah (shahabiyyah).
Sedangkan, Ummu ‘Athiyyah adalah seorang shahabat wanita.
8.1. Berhujjah Dengan Hadits Mursal
Hadits mursal adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang tabi’iy namun tidak menyebutkan shahabatnya. Dengan kata lain, hadits mursal adalah perkataan seorang tabi’iy (baik tabi’iy besar maupun kecil), maupun perkataan shahabat kecil yang menuturkan apa yang dikatakan atau dikerjakan oleh Rasulullah Saw tanpa menerangkan dari shahabat mana berita tersebut didapatkannya. Misalnya, seorang tabi’iy atau shahabat kecil berkata, “Rasulullah Saw bersabda demikian…”, atau “Rasulullah Saw mengerjakan demikian”, atau “Seorang shahabat mengerjakan di hadapan Rasulullah Saw begini…”
Sebagian ‘ulama menjadikan hadits mursal sebagai hujjah. Ulama yang berpendapat bahwa hadits mursal bisa dijadikan sebagai hujjah adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad. Sedangkan Imam Syafi’i dan ulama-ulama yang lain menolak berhujjah dengan hadits mursal. Akan tetapi, Imam Syafi’i tidak menolak secara muthlak hadits mursal. Imam Syafi’i berpendapat, bahwa hadits mursal bisa dijadikan sebagai hujjah asalkan memenuhi syarat: (1) hadits mursal dari Ibnu al-Musayyab. Sebab, pada umumnya ia tidak meriwayatkan hadits kecuali dari Abu Hurairah ra. (2) Hadits mursal yang dikuatkan oleh hadits musnad, baik dha’if maupun shahih. (3) Hadits mursal yang dikuatkan oleh qiyas; (4) hadits mursal yang dikuatkan oleh hadits mursal yang lain (Manhaj Dzawi an-Nadzar, hal. 48-53; Nudzat an-Nadzar, hal. 27). Jika kita mengikuti pendapat Imam Syafi’i ini, maka hadits Ummu ‘Athiyyah layak digunakan sebagai hujjah, sebab banyak hadits-hadits shahih yang senada dengan hadits Ummu ‘Athiyyah.
Kami menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa hadits mursal bisa digunakan sebagai hujjah. Sebab, perawi yang dihilangkan adalah para shahabat yang seluruh ulama telah sepakat bahwa seluruh shahabat adalah adil. Benar, status hadits yang perawinya tidak diketahui, maka ketsiqahannya tidak diketahui alias majhul. Padahal, riwayat yang bisa digunakan hujjah adalah riwayat yang perawinya tsiqah dan yakin, alias tidak majhul. Tidak ada hujjah bagi perawi yang majhul. Ini adalah alasan mereka yang menolak hadits mursal sebagai hujjah.
Sesungguhnya, bila diteliti secara mendalam, maka alasan-alasan yang dikemukakan oleh orang yang menolak berhujjah dengan hadits mursal adalah lemah. Sebab, perawi yang dibuang (majhul) adalah shahabat. Meskipun jatidiri shahabat tersebut tidak diketahui, akan tetapi selama orang tersebut diketahui dan dikenal sebagai seorang shahabat maka haditsnya bisa diterima dipakai sebagai hujjah. Kita semua telah memahami, bahwa seluruh shahabat adalah adil. Oleh karena itu, ‘illat yang digunakan untuk menolak hadits mursal, sesungguhnya tidak ada di dalam hadits mursal. Sebab, ketidakjelasan jati diri shahabat tidak menafikan keadilan dan ketsiqahannya. Ini menunjukkan, bahwa hadits mursal tetap bisa digunakan sebagai hujjah. Dihilangkannya seorang shahabat dari rangkaian sanad tidaklah menurunkan derajat hadits tersebut, selama diketahui bahwa ia adalah shahabat. Sebab, seluruh shahabat adalah adil, dan tidak perlu lagi diteliti ketsiqahannya.
Seandainya kita mengikuti komentar al-Hafidz Ibnu Hajar dan Imam an-Nawawi, mengenai kemursalan hadits Ummu ‘Athiyyah, hadits itu tetap bisa digunakan sebagai hujjah. Sebab, pendapat terkuat menyatakan, bahwa hadits mursal memang absah digunakan sebagai hujjah. Selain itu, banyak riwayat yang menyatakan, bahwa Rasulullah Saw dan ‘Umar bin Khaththab pernah berjabat tangan dengan wanita (Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’an; Qs. al-Mumtahanah [60]: 12).

4. Khatimah
Dari tarjih kedua pendapat diatas menunjukkan bahwa pendapat yang mengharamkan berjabat tangan dengan bukan mahram adalah lemah jika dibandingkan dengan pendapat yang membolehkannya. Karena hukumnya mubah maka dibolehkan bagi kaum muslimin untuk berjabat tangan dengan bukan mahram baik secara langsung ataupun dengan pembatas, juga dibolehkan untuk tidak berjabat tangan.
Pendapat yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram mensyaratkan harus tanpa syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram. Karena itu para ulama yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram mengingatkan karena antara syahwat dan tidak itu sangat samar, maka haruslah kita berhati-hati pada saat berjabat tangan. Terutama sekali kalau yang berjabat tangan adalah pria dan wanita muda yang sebaya, sebab sangat mungkin menimbulkan syahwat atau menimbulkan fitnah. Kalau tidak khawatir timbul fitnah maka tidak apa-apa berjabat tangan dengan bukan mahram. Misalnya dengan orang-orang yang sudah tua atau dengan anak-anak kecil.
Golongan yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram, bukanlah karena mereka senang berjabat tangan dengan bukan mahram. Tetapi karena mereka tidak berani untuk mengharamkan sesuatu yang secara jelas Allah SWT telah membolehkannya lewat perbuatan RasulNya. Sebab termasuk dosa besar kalau ada orang yang berani mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah SWT atau menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT. Sebab Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya orang yang mengharamkan sesuatu yang halal sama dengan orang yang menghalalkan sesuatu yang haram.” [HR. as-Sihab].
Perlu diingat bahwa sesuatu yang mubah tidak harus selalu dilakukan. Sebab kalau itu tidak berguna dan dapat menimbulkan fitnah lebih baik dihindarkan.
Bagi mereka yang mengikuti pendapat yang mengharamkan setelah sampai penjelasan yang meyakinkan, maka haramlah hukumnya bagi mereka untuk berjabat tangan dan atau menyentuh dengan tangannya siapapun yang bukan mahramnya, baik bukan mahramnya tersebut anak kecil, remaja, dewasa ataupun orang yang sudah tua sekalipun. Sebab mereka semua adalah bukan mahram, yang haram untuk berjabat tangan dan bersentuhan dengannya. Sedangkan bagi mereka yang mengikuti pendapat yang membolehkan setelah sampai penjelasan yang meyakinkan, maka mubahlah hukumnya bagi mereka. Allah SWT akan meminta pertanggung-jawaban atas perbuatannya berdasarkan pendapat yang terkuat yang telah ia ikuti. Walaupun berbeda pendapat kaum muslimin tetap bersaudara. Tidak boleh hanya karena perbedaan pendapat yang masih dibolehkan tersebut, sesama muslim saling menfitnah dan menjelek-jelekan orang yang berbeda dengan mereka. Yang jelas kita wajib mengikuti pendapat yang terkuat tanpa dicampuri adanya perasaan suka atau tidak suku. Wallahu a’lam bi ash-showab. [Ramadhan]

Wednesday, October 8, 2008

Sumur Zam Zam dan Fakta Dibaliknya











Selama ini kita mengenal sumur Zamzam dari buku-buku agama. Namun sebenarnya ada sisi ilmiah saintifiknya juga looh. Cabang ilmu geologi yang mempelajari tentang air adalah hydrogeologi.

Khasiat air Zam-zam tentunya bukan disini yang mesti menjelaskan, tapi kalau dongengan geologi sumur Zam-zam mungkin bisa dijelaskan disini. Sedikit cerita Pra-Islam, atau sebelum kelahiran Nabi Muhammad, diawali dengan kisah Isteri dari Nabi Ibrahim, Siti Hajar, yang mencari air untuk anaknya yang cerita selanjutnya bisa ditanyakan ke Wak **** disebelah ya. Sumur ini kemudian tidak banyak atau bahkan tidak ada ceritanya, sehingga sumur ini dikabarkan hilang.Sumur Zam-zam yang sekarang ini kita lihat adalah sumur yang digali oleh Abdul Muthalib kakeknya Nabi Muhammad. Sehingga saat ini, dari “ilmu persumuran” maka sumur Zam-zam termasuk kategori sumur gali (Dug Water Well).

Dimensi dan Profil Sumur Zam-zam.
Bentuk sumur Zam-zam dapat dilihat dibawah ini.

Sumur ini memiliki kedalaman sekitar 30.5 meter. Hingga kedalaman 13.5 meter teratas menembus lapisan alluvium Wadi Ibrahim. Lapisan ini merupakan lapisan pasir yang sangat berpori. Lapisan ini berisi batupasir hasil transportasi dari lain tempat. Mungkin saja dahulu ada lembah yang dialiri sungai yang saat ini sudah kering. Atau dapat pula merupakan dataran rendah hasil runtuhan atau penumpukan hasil pelapukan batuan yang lebih tinggi topografinya.
Mata air zamzam
Dibawah lapisan alluvial Wadi Ibrahim ini terdapat setengah meter (0.5 m) lapisan yang sangat lulus air (permeable). Lapisan yang sangat lulus air inilah yang merupakan tempat utama keluarnya air-air di sumur Zam-zam.

Kedalaman 17 meter kebawah selanjutnya, sumur ini menembus lapisan batuan keras yang berupa batuan beku Diorit. Batuan beku jenis ini (Diorit) memang agak jarang dijumpai di Indonesia atau di Jawa, tetapi sangat banyak dijumpai di Jazirah Arab. Pada bagian atas batuan ini dijumpai rekahan-rekahan yang juga memiliki kandungan air. Dulu ada yang menduga retakan ini menuju laut Merah. Tetapi tidak ada (barangkali saja saya belum menemukan) laporan geologi yang menunjukkan hal itu.Dari uji pemompaan sumur ini mampu mengalirkan air sebesar 11 - 18.5 liter/detik, hingga permenit dapat mencapai 660 liter/menit atau 40 000 liter per jam. Celah-celah atau rekahan ini salah satu yang mengeluarkan air cukup banyak. Ada celah (rekahan) yang memanjang kearah hajar Aswad dengan panjang 75 cm denga ketinggian 30 cm, juga beberapa celah kecil kearah Shaffa dan Marwa.Keterangan geometris lainnya, celah sumur dibawah tempat Thawaf 1.56 m, kedalaman total dari bibir sumur 30 m, kedalaman air dari bibir sumur = 4 m, kedalaman mata air 13 m, Dari mata air sampai dasar sumur 17 m, dan diameter sumur berkisar antara 1.46 hingga 2.66 meter.

Air hujan sebagai sumber berkah.
Kota Makkah terletak di lembah, menurut SGS (Saudi Geological Survey) luas cekungan yang mensuplai sebagai daerah tangkapan ini seluas 60 Km2 saja, tentunya tidak terlampau luas sebagai sebuah cekungan penadah hujan. Sumber air Sumur Zam-zam terutama dari air hujan yang turun di daerah sekitar Makkah.Sumur ini secara hydrologi hanyalah sumur biasa sehingga sangat memerlukan perawatan. Perawatan sumur ini termasuk menjaga kualitas higienis air dan lingkungan sumur serta menjaga pasokan air supaya mampu memenuhi kebutuhan para jamaah **** di Makkah. Pembukaan lahan untuk pemukiman di seputar Makkah sangat ditata rapi untuk menghindari berkurangnya kapasitas sumur ini.
Gambar di bawah ini memperlihatkan lokasi sumur Zamzam yang terletak ditengah lembah yang memanjang. Masjidil haram berada di bagian tengah diantara perbukitan-perbukitan disekitarnya. Luas area tangkapan yang hanya 60 Km persegi ini tentunya cukup kecil untuk menangkap air hujan yang sangat langka terjadi di Makkah, sehingga memerlukan pengawasan dan pemeliharaan yang sangat khusus.Sumur Zamzam ini, sekali lagi dalam pandangan (ilmiah) hidrogeologi , hanyalah seperti sumur gali biasa. Tidak terlalu istimewa dibanding sumur-sumur gali lainnya. Namun karena sumur ini bermakna religi, maka perlu dijaga. Banyak yang menaruh harapan pada air sumur ini karena sumur ini dipercaya membawa berkah. Ada yang menyatakan sumur ini juga bisa kering kalau tidak dijaga. Bahkan kalau kita tahu kisahnya sumur ini diketemukan kembali oleh Abdul Muthalib (kakeknya Nabi Muhammad SAW) setelah hilang terkubur 4000 tahun (?).Dahulu diatas sumur ini terdapat sebuah bangunan dengan luas 8.3 m x 10.7 m = 88.8 m2. Antara tahun 1381-1388 H bangunan ini ditiadakan untuk memperluas tempat thawaf. Sehingga tempat untuk meminum air zamzam dipindahkan ke ruang bawah tanah. Dibawah tanah ini disediakan tempat minum air zam-zam dengan sejumlah 350 kran air (220 kran untuk laki-laki dan 130 kran untuk perempuan), ruang masuk laki perempuan-pun dipisahkan.Saat ini bangunan diatas sumur Zam-Zam yang terlihat gambar diatas itu sudah tidak ada lagi, bahkan tempat masuk ke ruang bawah tanah inipun sudah ditutup. Sehingga ruang untuk melakukan ibadah Thawaf menjadi lebih luas. Tetapi kalau anda jeli pas Thawaf masih dapat kita lihat ada tanda dimana sumur itu berada. Sumur itu terletak kira-kira 20 meter sebelah timur dari Ka’bah.

Monitoring dan pemeliharaan sumur Zamzam

Jumlah jamaah ke Makkah tiga puluh tahun lalu hanya 400 000 pertahun (ditahun 1970-an), terus meningkat menjadi lebih dari sejuta jamaah pertahun di tahun 1990-an, Dan saat ini sudah lebih dari 2.2 juta. Tentunya diperlukan pemeliharaan sumur ini yang merupakan salah satu keajaiban dan daya tarik tersendiri bagi jamaah haji.

Pemerintah Saudi tentunya tidak dapat diam pasrah saja membiarkan sumur ini dipelihara oleh Allah melalui proses alamiah. Namun pemerintah Arab Saudi yang sudah moderen saat ini secara ilmiah dan saintifik membentuk sebuah badan khusus yang mengurusi sumur Zamzam ini. Sepertinya memang Arab Saudi juga bukan sekedar percaya saja dengan menyerahkan ke Allah sebagai penjaga, namun justru sangat meyakini manusialah yang harus memelihara berkah sumur ini.Pada tahun 1971 dilakukan penelitian (riset) hidrologi oleh seorang ahli hidrologi dari Pakistan bernama Tariq Hussain and Moin Uddin Ahmed. Hal ini dipicu oleh pernyataan seorang doktor di Mesir yang menyatakan air Zamzam tercemar air limbah dan berbahaya untuk dikonsumsi. Tariq Hussain (termasuk saya dari sisi hidrogeologi) juga meragukan spekulasi adanya rekahan panjang yang menghubungkan laut merah dengan Sumur Zam-zam, karena Makkah terletak 75 Kilometer dari pinggir pantai. Menyangkut dugaan doktor mesir ini, tentusaja hasilnya menyangkal pernyataan seorang doktor dari Mesir tersebut, tetapi ada hal yang lebih penting menurut saya yaitu penelitian Tariq Hussain ini justru akhirnya memacu pemerintah Arab Saudi untuk memperhatikan Sumur Zamzam secara moderen. Saat ini banyak sekali gedung-gedung baru yang dibangun disekitar Masjidil Haram, juga banyak sekali terowongan dibangun disekitar Makkah, sehingga saat ini pembangunannya harus benar-benar dikontrol ketat karena akan mempengaruhi kondisi hidrogeologi setempat.

Badan Riset sumur Zamzam yang berada dibawah SGS(Saudi Geological Survey) bertugas untuk:
1. Memonitor dan memelihara untuk menjaga jangan sampai sumur ini kering.
2. Menjaga urban disekitar Wadi Ibrahim karena mempengaruhi pengisian air.
3. Mengatur aliran air dari daerah tangkapan air (recharge area).
4. Memelihara pergerakan air tanah dan juga menjaga kualitas melalui bangunan kontrol.
5. Meng-upgrade pompa dan dan tangki-tangki penadah.
6. Mengoptimasi supplai dan distribusi airZam-zam

Perkembangan perawatan sumur Zamzam.
Dahulu kala, zamzam diambil dengan gayung atau timba, namun kemudian dibangunlah pompa air pada tahun 1373 H/1953 M. Pompa ini menyalurkan air dari sumur ke bak penampungan air, dan diantaranya juga ke kran-kran yang ada di sekitar sumur zamzam.Uji pompa (pumping test) telah dilakukan pada sumur ini, pada pemompaan 8000 liters/detik selama lebih dari 24 jam memperlihatkan permukaan air sumur dari 3.23 meters dibawah permukaan menjadi 12.72 meters dan kemudian hingga 13.39 meters. Setelah itu pemompaan dihentikan permukaan air ini kembali ke 3.9 meters dibawah permukaan sumur hanya dalam waktu 11 minut setelah pompa dihentikan. Sehingga dipercaya dengan mudah bahwa akifer yang mensuplai air ini berasal dari beberapa celah (rekahan) pada perbukitan disekitar Makkah.Banyak hal yang sudah dikerjakan pemerintah Saudi untuk memelihara Sumur ini antara lain dengan membentuk badan khusus pada tahun 1415 H (1994). dan saat ini telah membangun saluran untuk menyalurkan air Zam-zam ke tangki penampungan yang berkapasitas 15.000 m3, bersambung dengan tangki lain di bagian atas Masjidil Haram guna melayani para pejalan kaki dan musafir. Selain itu air Zam-zam juga diangkut ke tempat-tempat lain menggunakan truk tangki diantaranya ke Masjidil Nabawi di Madinah Al-Munawarrah.Saat ini sumur ini dilengkapi juga dengan pompa listrik yang tertanam dibawah (electric submersible pump). Kita hanya dapat melihat foto-fotonya saja seperti diatas. Disebelah kanan ini adalah drum hidrograf, alat perekaman perekaman ketinggian muka air sumur Zamzam (Old style drum hydrograph used for recording levels in the Zamzam Well).

Kandungan mineral.




Tidak seperti air mineral yang umum dijumpai, air Zamzam in memang unik mengandung elemen-elemen alamiah sebesar 2000 mg perliter. Biasanya air mineral alamiah (hard carbonated water) tidak akan lebih dari 260 mg per liter. Elemen-elemen kimiawi yang terkandng dalam air Zamzam dapat dikelompokkan menjadiYang pertama, positive ions seperti misal sodium (250 mg per litre), calcium (200 mg per litre), potassium (20 mg per litre), dan magnesium (50 mg per litre).Kedua, negative ions misalnya sulphur (372 mg per litre), bicarbonates (366 mg per litre), nitrat (273 mg per litre), phosphat (0.25 mg per litre) and ammonia (6 mg per litre).
Molekul air zam zamKandungan-kandungan elemen-elemen kimiawi inilah yang menjadikan rasa dari air Zamzam sangat khas dan dipercaya dapat memberikan khasiat khusus. Air yang sudah siap saji yang bertebaran disekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di Madinah merupakan air yang sudah diproses sehingga sangat aman dan segar diminum, ada yang sudah didinginkan dan ada yang sejuk (hangat). Namun konon prosesnya higienisasi ini tidak menggunakan proses kimiawi untuk menghindari perubahan rasa dan kandungan air ini.

Karier

Oleh : Huda Kismandana, Smanda 95

Karier. Kata ini relatif tidak pernah disebut oleh kalangan pelajar dan mahasiswa. Tapi karier sangatlah sering disebut, dibicarakan bahkan dipikirkan oleh kalangan dunia kerja. Maklum, karena karier berkorelasi positif dengan pendapatan dan jabatan. Semakin suskses seseorang berkarier semakin besar pendapatan dan semakin tinggi jabatannya. Dan pada akhirnya akan meningkatkan status sosial.

Kecemerlangan berkarier ditentukan oleh tiga faktor. Faktor objektif, faktor subjektif dan faktor X. Faktor objektif adalah faktor yang jelas parameternya. Dalam suatu perusahaan biasanya ada serangkaian assessment process untuk menentukan apakah seseorang layak untuk dinaikan jabatannya atau golongannya. Di antaranya test tertulis. Test tertulis ini jawabannya sudah jelas mana yang benar dan mana yang salah. Jika lulus test tertulis, berarti yang bersangkutan memiliki faktor objektif yang baik. Tingkat pendidikan, dan keahlian adalah di antara faktor objektif penentu kecemerlangan berkarier tersebut.

Faktor subjektif adalah faktor yang berhubungan dengan like and dislike atau nepotisme. Entah nepotisme karena hubungan keluarga, hubungan kedaerahan, atau hubungan latar belakang pendidikan. Agar tidak menjadi korban faktor subjektif, kita harus memiliki social intelligence dan integritas diri yang baik. Social intelligence yaitu dengan menjalin komunikasi dan kerja sama yang baik. Sedangkan integritas diri adalah senantiasa disiplin dan jujur.

Faktor X adalah faktor yang tak terduga atau faktor yang timbul bukan karena diri kita. Misalnya, ketika terjadi resesi global karena kenaikan harga minyak, keadaan makro dan mikro ekonomi di suatu negara akan terganggu. Di sisi mikro ekonomi, suatu perusahaan akan melakukan rasionalisasi untuk bisa survive. Banyak hal yang bisa dilakukan perusahaan untuk melakukan rasionalisasi. Dari mulai rasionalisasi di sisi design dan produksi sampai rasionalisasi yang paling mengerikan yaitu pengurangan karyawan atau PHK. Terkena PHK, berarti sandungan dalam berkarier.

Tentu saja kita berharap bisa berkarier cemerlang sesuai dengan yang ditargetkan. Tapi ketika karier itu tidak secemerlang yang kita inginkan, kita harus tetap sabar dan berusaha mencari jalan yang lebih baik. Boleh jadi kesabaran ini adalah bekal dan kunci agar kita siap menerima sukses dan karier yang lebih baik.

Sukses berkarier di dunia kerja tidaklah cukup, Kita masih harus sukses berkarier di tiga tempat lagi. Yaitu berkarier di keluarga, berkarier di lingkungan sosial, dan berkarier untuk akhirat.

Berkarier di keluarga parameternya adalah jika orang tua merasa senang akan keberadaan kita. Selain itu bagi seorang laki-laki adalah bagaimana bisa sukses menjadi suami dambaan istri. Sukses mendidik dan membesarkan anak-anak sehingga kita menjadi ayah yang dibanggakan. Bagi seorang perempuan adalah bagaiman bisa sukses menjadi istri yang selalu menyenangkan suami. Sukses mendidik dan membesarkan anak-anak sehingga menjadi ibu yang dibanggakan. Sukses di keluarga juga adalah ketika kita bisa membantu saudara-saudara di pihak istri maupun suami. Di antaranya adalah mampu memberikan biaya kuliah.

Berkarier di lingkungan sosial adalah bagaimana kita bisa berperan positif untuk suatu komunitas. Di lingkungan RT misalnya. Kontribusi positif yang kita berikan akan menjadikan kita dikenal dan pada akhirnya kitapun diterima sebagai warga RT yang baik. Penerimaan tersebut adalah berarti kita sudah bisa berkarier di lingkungan sosial RT. Penerimaan ini sangatlah penting agar kita bisa hidup tenang dan nyaman.

Sedangkan berkarier untuk akhirat adalah dengan cara memperbanyak ibadah dan beramal sholeh. Kita tidak tahu kapan meninggal. Maka selama hayat di kandung badan, berkarierlah juga untuk akhirat.


Matsumoto, 23 September 2008

Dia yang Kurindu

Oleh : Huda Kismandana, Smanda 95

Menginjak usia puber, perasaan cinta terhadap lawan jenis dengan sendirinya muncul. Perasaan cinta itupun dibarengi juga dengan perasaan rindu. Rindu ingin melihat dan bertemu, rindu untuk diperhatikan. Perasaan ini membangkitkan energi positif sehingga kita berpikir dan bersikap bagaimana caranya agar si dia menerima cinta kita. Energi positif itu mendorong kita tampil lebih rapih, dewasa, berprestasi di bidang akademik, olah raga, dan seni misalnya. Dan ketika perasaan cinta ini dibalas dengan penerimaan, rindupun semakin terasa.

Perasaan tersebut yang tumbuh di usia SD, SMP dan SMA, mungkin namanya cinta monyet, begitu orang-orang menyebutnya. Tak tahu pasti kenapa disebut cinta monyet. Apakah karena pada masa itu rebutan cinta sering kali menimbulkan pertengkaran ? Apakah karena perasaan cinta ketika itu hanya ungkapan emosional sesaat, cepat timbul tapi cepat pergi? Tapi sebenarnya ada juga yang komit dan serius untuk memaintain gelombang frekuensi cintanya terus ke jenjang rumah tangga. Jadi lantas kenapa disebut cinta monyet? Biarlah tiap kita mendefinisikannya sendiri dan tak perlu menanyakan ke monyet-monyet yang bergoyang.

Memasuki usia kuliah kedewasaan pun semakin tumbuh, terlebih memasuki usia bekerja. Sehingga sangatlah selektif dan hati-hati dalam memilih calon suami atau istri. Kerinduan akan hadirnya pendamping setia yang kelak akan menjadi suami atau istri, semakin menjadi. Planning menikahpun dibuat, usia 27 tahun untuk pria dan usia 25 tahun untuk wanita. Begitu kira-kira rata-rata usia menikah bagi kaum muda Indonesia yang mengalami bangku kuliah. Keseriusan sikap dan berbagai persiapanpun dimatangkan.

Lantas calon suami atau istri seperti apa yang dirindukan? Dalam suatu seminar di Balairung Universitas Indonesia, Dr. Boyke Dian Nugraha mengatakan bahwa berdasarkan survey terjadi perbedaan kecenderungan antara pria dan wanita dalam memilih calon pasangan hidupnya. Pria cenderung memilih wanita berdasarkan Romanic Vitality, kecantikan atau kemolekan tubuhnya. Sedangkan wanita cenderung memilih pria berdasarkan kedewasaannya. Terlepas dari berapa banyak yang setuju dengan kecenderungan ini, yang jelas Islam mengajarkan agar lebih memperhatikan agamanya dalam memilih calon suami atau istri dibandingkan pilihan kecantikan/ketampanan, keturunan, dan harta.

Setelah menikah kerinduan barupun muncul. Rindu lahirnya anak sebagai penerus keturunan, yang akan menorehkan sejarah pejuangan dan pengabdian yang lebih baik. Sehingga tak heran seorang ibu begitu sabar dan kuat mengandung selama 9 bulan. Begitu tegar dalam melahirkan. Begitu bijak dan perhatian dalam mendidik dan membesarkan. Seorang Bapakpun tak kenal lelah bekerja demi buah hatinya. Itulah kerinduan. Kerinduan melahirkan the power of spirit yang mendrive diri ini untuk senantiasa berbuat yang terbaik.

Menjelang datangnya bulan Ramadhan, apakah kerinduan pun tumbuh di diri ini? Semoga kerinduan itu ada. Dan semoga bisa menggedor hati untuk menuntun diri ini meningkatkan frekuensi dan kualitas ibadah.Aamiin.

Marhaban Yaa Ramadhan.


Matsumoto, 27 Agustus 2008

Tuesday, October 7, 2008

Tentang Saya

Saya Lahir di Kuningan - Jawa Barat dari Ayah seorang Guru SD dan Ibu sebagai Ibu Rumah Tangga yang hanya lulusan SD.

Saya anak terakhir dari 4 bersaudara, laki-laki semua dimana anak ke-2 dan ke-3 meninggal sewaktu masih bayi. Jadi yang tersisa tinggal Kakak sulung saya dan saya sendiri.

Ayah saya meninggal dunia 13 februari 1996 ketika saya menginjak semester 1 kuliah di Unsoed Purwokerto. Ibu saya meninggal 20 November 2006 setelah dirawat di RSCM lebih dari sebulan.

Masa kecil saya sampai SMA saya habiskan di kampung halaman dengan berjuta kenangan. Pertama kali jauh dari orang tua pada saat kuliah di Purwokerto tahun 1995.

Empat tahun berlalu, tahun 1999 saya lulus S1 dan bekerja di KAP Amir Abadi Jusuf & Aryanto s/d 2005. Disanalah saya bertemu tulang rusuk saya yang kemudian bersatu dalam tali pernikahan.

2005-2007 saya bekerja di Perusahaan Jasa Pengeboran minyak. 1 Juli 2007 saya pindak kerja di salah satu anak perusahaan Garuda.

Saya sudah dikaruniai anak 2 (dua): Nabila Prameswari (perempuan, lahir 24 Feb 2004) dan Rifqy Ghani Wijaya (lali-laki, lahir 20 April 2007).

Sampai saat ini saya masih mencari-cari "sesuatu". Saya sadar dan yakin bahwa "tidak ada yang abadi di dunia ini"...

RIFQY GHANI WIJAYA

Jum'at, 20 April 2007 jam 12.20..
Ah...Nak, kamu lahir pada masa "sulit" kami. Untuk itulah kamu diberi nama Rifqy Ghani Wijaya. Rifqy = teman hidup (mudah-mudahan menjadi teman hidup kami), Ghani = kaya (mudah-mudahan kaya hati dan kaya harta.. Amin), Wijaya = Berjaya (biar kaya orang china gitu...).

Kalau boleh jujur, nama itu sebenarnya buat kakakmu. Dulu dokter bilang anaknya cowok. Makanya kami siapkan nama cowok. Eh.. ternyata pas keluar, kakakmu cewek.. makanya diberi nama Nabila Prameswari. Jadilah nama yang telah disiapkan, kami turunkan padamu. Kami tidak mencari-cari nama lain lagi, apalagi menyiapkan nama cewek.. (nekat juga ya)..

Sejujurnya, selama masa kamu dalam kandungan, doa kami selalu meminta yang terbaik buat kamu. Peristiwa yang menimpa kakakmu, masih membayangi kami. Alhamdulillah, kamu lahir selamat, sehat dan kuat. Meskipun saat itu ayahmu tidak sempat sholat Jum'at. Ayah tidak bisa meninggalkan ibumu berjihad sendirian.

Kami memilih fasilitas kelas 2 karena rumah sakit tidak memperbolehkan kami di kelas 3. Kelas itu khusus untuk GAKIN.. Maklum lah nak.. saat itu Perusahaan ayah menjelang kolaps.. Gaji juga sering telat..

Alhamdulillah setelah kami lahir, ternyata nama itu manjur.. ayah kemudian pindah kerja ke tempat yang lebih bagus. Meskipun ayah masih tetap membantu pekerjaan di tempat lama yang sekarang sudah kolaps..

Semoga berkah Alloh selalu menyertai kehidupan kita. Amin..

NABILA PRAMESWARI



Nak, 24 Februari 2004 yang lalu, kamu hanya seberat 1,6kg dan 45 cm. Tidak dapat diungkapkan perasaan Ayah dan Ibu menyambut kelahiranmu.

Apa ada yang salah? Tidak Nak, itu memang sudah waktunya kamu bertemu ayah dan ibumu.

Sebulan kamu dalam inkubator, kami pandangi, kami usap, kami peluk dengan penuh kasih sayang dan kehangatan. Kami tahu kamu sedang butuh itu. Kami lakukan apa yang bisa dilakukan untuk pertumbuhanmu.

Hari berganti bulan, sampai saat "berita" itu datang bagai petir di siang bolong. Kamu punya cacat bawaan nak. Kata dokter jantung kamu bocor sehingga pertumbuhan tidka optimal (Dr. Najib Advani). Tak ada solusi lain selain operasi.

Panik, gusar, bingung, dan entah apa lagi perasaan kami, Nak....

Tapi kami akhirnya yakin, itu juga sudah jalannya kamu Nak... Kami tidak mau melihat kamu kelelahan meskipun tidak beraktivitas yang berat. Kami tidak mau melihat kamu rentan terhadap penyakit.

Setelah usiamu 1 tahun, operasi itu dijalankan.... Nak, saat-saat terakhir setelah melepaskanmu ke tangan dokter, saat itulah hati kami seperti"hancur"....

"Tuhan..jangan kau ambil anak kami" itulah doa kami yang mengiringi proses itu.

Nak, sekarang kamu telah besar, cerdas, cerewet namun keras kepala. Kamu harus tahu, apa yang kami lakukan karena kami SAYANG. Kami juga tahu bahwa kamu juga menyayangi kami juga adikmu..

Dahsyatnya Menyambung Silaturahim

Sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, artinya, "Dari Abu Hurairah ra berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, "Siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah menyambung silaturrahim." (HR Al Bukhari)

Suatu hari menjelang akhir Ramadhan 1429 H, sekitar jam 20.30, saya terima telepon dari sahabat lama. Temen seperantauan saat kuliah di Unsoed Purwokerto. Aan Hertiana namanya.
Dia memberi tahu bahwa baru dapet telp dari Hari Prasetyo. Nama terakhir ini adalah temen satu kost saya sahabat saya selama saya kuliah dan berorganisasi di kampus. Hari meminta no telp saya ke Aan dan diberitahukan no HP saya.

Girang hati saya mendengarnya, karena memang sudah sejak lama (dari tahun 2000) saya kehilangan contact dengan Hari. Maklum HP pernah hilang. Saya langsung minta nomor HP Hari.

Selang beberapa hari saya telepon Hari. Wah lumayan senng ketemu sohib lama. Setelah obrolan sana-sini dan tanya kabar istrinya (kebetulan sohib saya juga), saya baru tahu kalau dia berwirausaha sendiri. Katanya dibidang security system semisal CCTV.

Tiba-tiba saya inget Ibu Sofi (mantan staff saya yang sekarang pindah ke CPE perusahaan asing bisang security system juga). Ketika sedang YM, iseng-iseng saya cerita temen saya jg bisnisnya sama meskipun kecil-kecilan.

Ibu Sofi girang banget, karena dia sedang cari partner untuk kerjasama dalam sebuah proyek lumayan besar. Kemudian saya kasih nomor contact Hari ke Ibu Sofi agar bisa contact langsung.

Hari ini, dapet kabar dari Ibu SOfi bahwa dia sudah bertemu dengan Hari dan mendiskusikan proyek kerjasama tersebut. Semoga lancar dan berhasil.

Beberapa hari ini saya mikir, "apa makna dari peristiwa ini?"

Ketika baca email dari teman tentang hadist di awal tersebut, baru saya sadar. Ternyata Alloh ingin memberikan suatu bukti bahwa apa yang disabdakan Alloh dan Rosulnya adalah BENAR.

Subhanalloh..

Mamah Cuci Darah

Tadi malam pulang ke Serang. Kasih support ibu mertua yang akan HD hari ini.

Hari ini dapat YM dari brother in law Lalang, mamah jadi HD hari ini.
Langsung SMS istri untuk konfirmasi.

Namun sayang proses HD tidak bisa didampingi keluarga. Padahal Mother in law terlihat stress (kata istri).

Semoga lancar dan baik-baik saja.

Amin.